Aku begitu mencintainya. Tak pernah ada orang lain ketika kami berpacaran, juga setelah menikah. Duniaku adalah dirinya saja. Tapi kini, aku merasa telah lelah.
Telah 4 tahun aku menikah. Anak satu, 2 tahun. Aku bekerja, suami juga. Kami sama-sama berkantor. Pulangku jam 4 sore, dan dia lebih malam, selepas atau sebelum maghrib. Tapi hal itu tetap membuat kami selalu dapat berkomunikasi, aku tak mengabaikannya, dia tak mengabaikanku. Masalahku cuma satu, kadang aku merasa lelah.
Mengapa lelah? Bukankah di rumah telah ada pembantu, yang juga menjaga dan merawat anakku? Ya. Yang kumaksud lelah di sini adalah aku merasa di rumah tangga ini sendirian. Suamiku terlalu mandiri. Dia tak pernah merasakan kesulitan apa pun.
Jika pulang, dia akan bermain sebentar dengan anakku, berbincang atau makan malam, lalu suntuk di ruang kerja. Sampai pagi. Dan selalu aku sendirian, menonton teve, berbicara dengan pembantu. Lalu tidur. Kadang aku ingatkan dia untuk tidur, tapi dia sibuk dengan meja gambarnya.
Tanpa terasa, sudah 4 tahun begitu. Empat tahun nyaris kami tak pernah berangkat tidur bersama. Juga bangun bersama. Aku membangunkannya ketika akan berangkat, karena aku masuk pukul 7 pagi, dia bisa pukul 8. Begitu terus. Terjadwal. Kadang, malam aku dia bangunkan, karena dia ingin "bermesraan". Dan kemudian aku tertidur lagi.
Aku merasa hal itu mulanya biasa. Tapi, ketika bergaul dengan teman-teman, dan mendengar cerita mereka yang lengkap tentang suami dan keluarga, aku mulai merasa ada yang salah.
Aku jadi sadar, betapa aku bergerak sendiri, suami bertidan sendiri. Soal air, listrik, bayaran pembantu, biaya rumah tangga, suami tidak pernah tahu. Benar dia selalu memberikan uang belanja yang cukup. Maksud aku, dia tidak pernah tahu berapa jumlah kesemua itu. Dia tak pernah tahu apakah telepon telah dibayar, listrik telah jatuh tempo, pembantu dapat bonus atau tidak. Semua urusanku. Dia tidak tahu harga susu anakku, mainan-mainannya, juga harga pakaian-pakaianku. Seperti aku juga, yang ternyata tidak tahu berapa harga handphonenya, komputer di ruang kerja, juga laptopnya. Aku juga tidak tahu harga sepatunya, bagaimana kredit mobil, kredit rumah, dan lainnya. Semua diurus suami.
Aku merasa ini aneh. Merasa aneh setelah aku tahu, bahwa tidak harus begitu menjalankan rumahtangga. Harus ada satu nahkoda, agar arah tetap jelas.
Aku jadi ingat, bahwa aku tidak pernah meminta bermesraan duluan. Dan kutahu kini, itu tidak wajar. Aku selalu menunggu, kadang sembari terkantuk-kantuk, sampai dia membangunkanku, untuk bercinta. Aku tak pernah menjadi subjek dalam hubungan suami istri kami, tapi objek. Jika suami butuh aku harus siap.
Kusadari kini, aku juga tidak pernah lagi orgasme setelah melahirkan. Dan aku tahu itu juga tidak benar. Selama ini aku menerima hal itu, sebagai bagian dari fungsiku sebagai istri. Asal suami puas, meregang-regang di atas tbuhku, aku pun merasa senang dan puas. Aku lega bisa membuat dia begitu. Itulah caraku untuk terus mencintanya. Terkata, dari teman-temanku, itu salah. Aku harus juga mendapatkan hal yang sama. Suamiku juga harus memberikan hal itu, sebagai tugas cintanya.
Selama ini, dia tak pernah tahu gajiku, dan aku tak memberitahunya. Kuanggap itu tak penting. Tapi kini aku tahu, suamiku seharusnya bertanya dan menghargai gajiku. Kuingat, selama ini dia memang tak pernah memujiku. Tak pernah memujiku. Ini gila. Aku berdandan, memakai baju baru, sepatu, bahkan membelikan baju untuk anakku, iya iya, benar, dia tak pernah memuji. Hanya melihat saja.
Aku jadi sadar, bahwa suamiku sesungguhnya tidak pernah masuk dalam kehidupanku. Tidak pernah terikut, terkait, bersama. Urusanku itu urusanku sendiri. Ajaib. Ya ya, dia bahkan tak pernah tahu kalau keponakanku telah bertambah, dan kaget ketika menyadari. Dia tak protes ketika pembantu kuganti. Dia tak merasa aneh dengan perabotan rumah yang susunan berganti. Suamiku seperti tak menyadarinya. Atau dia tak menganggap penting semua perubahan-perubahan itu.
Ya, iya, kini kudasari, kedamaian kami itu bukan hal yang wajar. Sangat amat tidak wajar. Bukan kelengangan yang asyik. Kami tak pernah bertengkar bukan karena saling memahami. Justru karena kami tak pernah bersama. Kami tak bertengkar karena kepentingan kami tak pernah bergesekan. Dia dalam dunianya, aku dalam duniaku. Gila, ini sungguh gila. Ini rumah tangga semacam apa? Ini bukan cara mencinta seperti yang aku inginkan!
Aku berusaha mendekatkan dunia kami. Sia-sia. Suamiku memang tak dapat terlibat atau dilibatkan. Dia milik dunianya, aku milik duniaku. Aku ingat, tak pernah sekalipun dia bertanya SMS yang kuterima, teleponm yang kudapatkan. Kukira itu karena dia percaya. Tapi tidak, aku sadar kini, itu bukan percaya. Itu tanda dia tak peduli. Aku mendapat telepon tengah malam pun, dia tak terganggu. Ya, itu tanda bahwa dia memang tak peduli.
Ya Tuhan, sesungguhnya dari apa rumah tanggaku ini dibangun? Di atas pondasi seperti apa? Mengapa aku tak menyadarinya, dan merasa semua aman, damai, sentosa? Mengapa kini aku terbuka, dan merasa betapa hidupku ini begitu datar, lelah, dan membosankan? Mengapa aku merasa lelah untuk menjadi istrinya?
Apakah aku meminta terlalu banyak? Rasanya tidak? Aku hanya ingin kami terlibat satu-sama lain, dia ada di duniaku, aku pun ada di dunianya. Aku hanya ingin menjadkan kami sebagai tim, yang bisa saling memberi dan berbagi, bukan dengan pembagian yang semacam kami jalani ini. Apakah aku salah berharap dapat berangkat tidur bersama, dipeluk, dan bangun lalu makan bersama? Apakah itu tuntutan yang mengada-ada?
Tuhan, bantulah aku mengatasi kelelahan ini, biar aku tetap dapat menjadi istri dalam kondisi apa pun, biar aku dapat terus menyelamatkan rumah tangga ini.
sumber : suaramerdeka
2 komentar:
Apakah ini kisah nyata? Really touching story
Komunikasi itu penting, bicaralah dan sentuh hati@
Posting Komentar