This is featured post 1 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 2 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
This is featured post 3 title
Replace these every slider sentences with your featured post descriptions.Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these with your own descriptions.
Jumat, 16 Juli 2010
Jejak Kelinci
humm… segarnya udara pagi
kuhirup dan kurasa
betapa nikmatnya dunia pagi ini
mencoba berdoa tuk mengawali hari
semoga indahnya hari
tak hanya kurasakan di awal ini
waktu terus berputar dan berlalu
detik demi detik pun makin menenggelamkanku
apa aku hanya berdiam diri saja
kucoba lari, lari dan terus berlari
mencoba pergi dari semua
Owh Tuhan….
aku tak dapat menemukan seorang pun di sini
Tapi… kelinci ini…
benarkah Kau kirimkan dia untuk ku
Terima Kasih Tuhan telah kau kirimkan dia padaku
Walau dia hanya seekor binatang kecil
dia sangat berarti bagiku
ku lihat indahnya tarian kaki mungilnya
seakan mengajakku untuk mengikuti tariannya
senyum kecil menghias tiap jejak langkahnya
kerlipan mata ceria dan bahagia menjadikan hati berbunga
Namamu Satria
Namamu Satria
Nang, duduk sini dipangku Ibu
ku ingin mengusap keringat di dahimu
sebelum ku kembali mengusap sepatu orang
demi masa depanmu
sebelum ku kembali mengusap sepatu orang
demi masa depanmu
Nang, aku ajari kau cara mandi
agar kelak bisa memandikanku
saat ku tak bisa mengusap keringatmu lagi
saat ku harus tidur abadi
agar kelak bisa memandikanku
saat ku tak bisa mengusap keringatmu lagi
saat ku harus tidur abadi
Nang, kau harus tau kenapa ku beri nama satria
bukan untuk sekedar bagus-bagusan
bukan untuk gampang dikenal orang
tapi jadikanlah dirimu seorang ksatria
bukan untuk sekedar bagus-bagusan
bukan untuk gampang dikenal orang
tapi jadikanlah dirimu seorang ksatria
yang bisa mencari arah bila ku mati
yang bisa hidup lebih layak
tak mengusap sepatu orang seperti aku
yang bisa hidup lebih layak
tak mengusap sepatu orang seperti aku
Nang, di tengah hingar bingar Ibu Kota
yang aku sendiri tak tahu kelaminnya
meskipun kita dianggap hina
janganlah sesekali kau tak trima
karena Tuhan sudah menggariskan hidup kita
yang aku sendiri tak tahu kelaminnya
meskipun kita dianggap hina
janganlah sesekali kau tak trima
karena Tuhan sudah menggariskan hidup kita
Nang, satria anakku
lekaslah pakai seragammu
rajinlah menuntut ilmu
agar kelak kau bisa mengubah hidupmu
menebar kebaikan tak pandang bulu
lekaslah pakai seragammu
rajinlah menuntut ilmu
agar kelak kau bisa mengubah hidupmu
menebar kebaikan tak pandang bulu
Posted in: puisi
Bahaya Pergaulan Bebas
Semakin tingginya frekuensi arus globalisasi di era industrialisasi yang sudah mengglobal serta arus modernisasi dan sekularisasi sangat berpengaruh besar terhadap pergaulan bebas dengan lain jenis (kumpul kebo), baik di perkotaan maupun di pedesaan.
Kondisi semacam ini juga sangat mempengaruhi terhadap ideologi masyarakat, sehingga ada sebagian mereka beranggapan, kalau tidak bergaul dengan selain jenis maka di nilai ketinggalan zaman. Inilah salah satu dampak arus globalisasi. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini manusia di tuntut untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.
Kalau kita lacak secara fenominal bahwa pergaulan di masa sekarang- di berbgai tempat-khususnya di perkotaan- seakan-akan sudah menjadi bagian kultur yang di akui keberadaannya dan tidak bisa di hindari lagi, bahkan di anggap hal yang biasa-bisa oleh kalangan remaja.
Padahal kalau di lihat di lapangan, pergaulan ini sangat meresahkan masyarakat, bahkan kalau kalangan remaja terus di biasakan hal semacam ini tanpa ada kesadaran dan pendidikan yang berorientasikan pada moral maka bagaimana dengan bangsa yang akan datang.
Sangat tragis, ternyata pergaulan bebas itu tidak hanya sebatas bergaul melainkan terkadang mendorong untuk melakukan hal yang lebih tidak di sukai oleh agama, seperti, bercumbu rayu, berciuman dan bahkan terjebak dalam perzinahan. Oleh karena itu, tanpa ada sekat-sekat pembatasan antara wanita dan laki-laki yang bukan muhrim maka dampak dan bahayanya seperti itu.
Kalau dalam ajaran islam, pergaulan bebas itu tidak di perbolehkan, bahkan melihat wanita yang bukan muhrim tanpa ada maksud-maksud yang di perbolehkan jug tidak boleh. Semisal saling melihat dan lainnya. Karena hal itu merupakan awal untuk melangkah pada garis selanjutnya seperti janjian dsb. Islam membolehkan bergaul dengan wanita yang bukan muhrimnya apabila ada alasan yang tepat menurut syariat, seperti ingin mengawini, karena sebelumnya di anjurkan melihat si wanita itu, cocok tidaknya.
Di masa sekarang, di Barat, hususnya di Eropa, pergaulan bebas sangatlah dominan bahkan homo dan lesbian sudah menjadi bagian kultur mereka. Ini tidak asing lagi di mata mereka, tapi ini sangat meresahkan masyarakat di sana sebab kasus aborsi di sana makin hari makin meningkat. Ini adalah gambaran dari pengaruh dan bahaya pergaulan bebas.
Secara mendasar ternyata hal semacam ini karena kebebasan di artikan bebas secara mutlak tanpa ada butir-butir aturan yang menjaga jarak antara mereka. Di sadari atau tidak kita harus menjaga jarak dalam pergaulan terutama pergaulan dengan lain jenis. Semoga Allah melindungi kita. Amin
Kondisi semacam ini juga sangat mempengaruhi terhadap ideologi masyarakat, sehingga ada sebagian mereka beranggapan, kalau tidak bergaul dengan selain jenis maka di nilai ketinggalan zaman. Inilah salah satu dampak arus globalisasi. Oleh karena itu, dalam kondisi semacam ini manusia di tuntut untuk lebih berhati-hati dalam bertindak.
Kalau kita lacak secara fenominal bahwa pergaulan di masa sekarang- di berbgai tempat-khususnya di perkotaan- seakan-akan sudah menjadi bagian kultur yang di akui keberadaannya dan tidak bisa di hindari lagi, bahkan di anggap hal yang biasa-bisa oleh kalangan remaja.
Padahal kalau di lihat di lapangan, pergaulan ini sangat meresahkan masyarakat, bahkan kalau kalangan remaja terus di biasakan hal semacam ini tanpa ada kesadaran dan pendidikan yang berorientasikan pada moral maka bagaimana dengan bangsa yang akan datang.
Sangat tragis, ternyata pergaulan bebas itu tidak hanya sebatas bergaul melainkan terkadang mendorong untuk melakukan hal yang lebih tidak di sukai oleh agama, seperti, bercumbu rayu, berciuman dan bahkan terjebak dalam perzinahan. Oleh karena itu, tanpa ada sekat-sekat pembatasan antara wanita dan laki-laki yang bukan muhrim maka dampak dan bahayanya seperti itu.
Kalau dalam ajaran islam, pergaulan bebas itu tidak di perbolehkan, bahkan melihat wanita yang bukan muhrim tanpa ada maksud-maksud yang di perbolehkan jug tidak boleh. Semisal saling melihat dan lainnya. Karena hal itu merupakan awal untuk melangkah pada garis selanjutnya seperti janjian dsb. Islam membolehkan bergaul dengan wanita yang bukan muhrimnya apabila ada alasan yang tepat menurut syariat, seperti ingin mengawini, karena sebelumnya di anjurkan melihat si wanita itu, cocok tidaknya.
Di masa sekarang, di Barat, hususnya di Eropa, pergaulan bebas sangatlah dominan bahkan homo dan lesbian sudah menjadi bagian kultur mereka. Ini tidak asing lagi di mata mereka, tapi ini sangat meresahkan masyarakat di sana sebab kasus aborsi di sana makin hari makin meningkat. Ini adalah gambaran dari pengaruh dan bahaya pergaulan bebas.
Secara mendasar ternyata hal semacam ini karena kebebasan di artikan bebas secara mutlak tanpa ada butir-butir aturan yang menjaga jarak antara mereka. Di sadari atau tidak kita harus menjaga jarak dalam pergaulan terutama pergaulan dengan lain jenis. Semoga Allah melindungi kita. Amin
Posted in: tips sex
Aku Mulai Lelah Mencintainya
Aku begitu mencintainya. Tak pernah ada orang lain ketika kami berpacaran, juga setelah menikah. Duniaku adalah dirinya saja. Tapi kini, aku merasa telah lelah.
Telah 4 tahun aku menikah. Anak satu, 2 tahun. Aku bekerja, suami juga. Kami sama-sama berkantor. Pulangku jam 4 sore, dan dia lebih malam, selepas atau sebelum maghrib. Tapi hal itu tetap membuat kami selalu dapat berkomunikasi, aku tak mengabaikannya, dia tak mengabaikanku. Masalahku cuma satu, kadang aku merasa lelah.
Mengapa lelah? Bukankah di rumah telah ada pembantu, yang juga menjaga dan merawat anakku? Ya. Yang kumaksud lelah di sini adalah aku merasa di rumah tangga ini sendirian. Suamiku terlalu mandiri. Dia tak pernah merasakan kesulitan apa pun.
Jika pulang, dia akan bermain sebentar dengan anakku, berbincang atau makan malam, lalu suntuk di ruang kerja. Sampai pagi. Dan selalu aku sendirian, menonton teve, berbicara dengan pembantu. Lalu tidur. Kadang aku ingatkan dia untuk tidur, tapi dia sibuk dengan meja gambarnya.
Tanpa terasa, sudah 4 tahun begitu. Empat tahun nyaris kami tak pernah berangkat tidur bersama. Juga bangun bersama. Aku membangunkannya ketika akan berangkat, karena aku masuk pukul 7 pagi, dia bisa pukul 8. Begitu terus. Terjadwal. Kadang, malam aku dia bangunkan, karena dia ingin "bermesraan". Dan kemudian aku tertidur lagi.
Aku merasa hal itu mulanya biasa. Tapi, ketika bergaul dengan teman-teman, dan mendengar cerita mereka yang lengkap tentang suami dan keluarga, aku mulai merasa ada yang salah.
Aku jadi sadar, betapa aku bergerak sendiri, suami bertidan sendiri. Soal air, listrik, bayaran pembantu, biaya rumah tangga, suami tidak pernah tahu. Benar dia selalu memberikan uang belanja yang cukup. Maksud aku, dia tidak pernah tahu berapa jumlah kesemua itu. Dia tak pernah tahu apakah telepon telah dibayar, listrik telah jatuh tempo, pembantu dapat bonus atau tidak. Semua urusanku. Dia tidak tahu harga susu anakku, mainan-mainannya, juga harga pakaian-pakaianku. Seperti aku juga, yang ternyata tidak tahu berapa harga handphonenya, komputer di ruang kerja, juga laptopnya. Aku juga tidak tahu harga sepatunya, bagaimana kredit mobil, kredit rumah, dan lainnya. Semua diurus suami.
Aku merasa ini aneh. Merasa aneh setelah aku tahu, bahwa tidak harus begitu menjalankan rumahtangga. Harus ada satu nahkoda, agar arah tetap jelas.
Aku jadi ingat, bahwa aku tidak pernah meminta bermesraan duluan. Dan kutahu kini, itu tidak wajar. Aku selalu menunggu, kadang sembari terkantuk-kantuk, sampai dia membangunkanku, untuk bercinta. Aku tak pernah menjadi subjek dalam hubungan suami istri kami, tapi objek. Jika suami butuh aku harus siap.
Kusadari kini, aku juga tidak pernah lagi orgasme setelah melahirkan. Dan aku tahu itu juga tidak benar. Selama ini aku menerima hal itu, sebagai bagian dari fungsiku sebagai istri. Asal suami puas, meregang-regang di atas tbuhku, aku pun merasa senang dan puas. Aku lega bisa membuat dia begitu. Itulah caraku untuk terus mencintanya. Terkata, dari teman-temanku, itu salah. Aku harus juga mendapatkan hal yang sama. Suamiku juga harus memberikan hal itu, sebagai tugas cintanya.
Selama ini, dia tak pernah tahu gajiku, dan aku tak memberitahunya. Kuanggap itu tak penting. Tapi kini aku tahu, suamiku seharusnya bertanya dan menghargai gajiku. Kuingat, selama ini dia memang tak pernah memujiku. Tak pernah memujiku. Ini gila. Aku berdandan, memakai baju baru, sepatu, bahkan membelikan baju untuk anakku, iya iya, benar, dia tak pernah memuji. Hanya melihat saja.
Aku jadi sadar, bahwa suamiku sesungguhnya tidak pernah masuk dalam kehidupanku. Tidak pernah terikut, terkait, bersama. Urusanku itu urusanku sendiri. Ajaib. Ya ya, dia bahkan tak pernah tahu kalau keponakanku telah bertambah, dan kaget ketika menyadari. Dia tak protes ketika pembantu kuganti. Dia tak merasa aneh dengan perabotan rumah yang susunan berganti. Suamiku seperti tak menyadarinya. Atau dia tak menganggap penting semua perubahan-perubahan itu.
Ya, iya, kini kudasari, kedamaian kami itu bukan hal yang wajar. Sangat amat tidak wajar. Bukan kelengangan yang asyik. Kami tak pernah bertengkar bukan karena saling memahami. Justru karena kami tak pernah bersama. Kami tak bertengkar karena kepentingan kami tak pernah bergesekan. Dia dalam dunianya, aku dalam duniaku. Gila, ini sungguh gila. Ini rumah tangga semacam apa? Ini bukan cara mencinta seperti yang aku inginkan!
Aku berusaha mendekatkan dunia kami. Sia-sia. Suamiku memang tak dapat terlibat atau dilibatkan. Dia milik dunianya, aku milik duniaku. Aku ingat, tak pernah sekalipun dia bertanya SMS yang kuterima, teleponm yang kudapatkan. Kukira itu karena dia percaya. Tapi tidak, aku sadar kini, itu bukan percaya. Itu tanda dia tak peduli. Aku mendapat telepon tengah malam pun, dia tak terganggu. Ya, itu tanda bahwa dia memang tak peduli.
Ya Tuhan, sesungguhnya dari apa rumah tanggaku ini dibangun? Di atas pondasi seperti apa? Mengapa aku tak menyadarinya, dan merasa semua aman, damai, sentosa? Mengapa kini aku terbuka, dan merasa betapa hidupku ini begitu datar, lelah, dan membosankan? Mengapa aku merasa lelah untuk menjadi istrinya?
Apakah aku meminta terlalu banyak? Rasanya tidak? Aku hanya ingin kami terlibat satu-sama lain, dia ada di duniaku, aku pun ada di dunianya. Aku hanya ingin menjadkan kami sebagai tim, yang bisa saling memberi dan berbagi, bukan dengan pembagian yang semacam kami jalani ini. Apakah aku salah berharap dapat berangkat tidur bersama, dipeluk, dan bangun lalu makan bersama? Apakah itu tuntutan yang mengada-ada?
Tuhan, bantulah aku mengatasi kelelahan ini, biar aku tetap dapat menjadi istri dalam kondisi apa pun, biar aku dapat terus menyelamatkan rumah tangga ini.
sumber : suaramerdeka
Telah 4 tahun aku menikah. Anak satu, 2 tahun. Aku bekerja, suami juga. Kami sama-sama berkantor. Pulangku jam 4 sore, dan dia lebih malam, selepas atau sebelum maghrib. Tapi hal itu tetap membuat kami selalu dapat berkomunikasi, aku tak mengabaikannya, dia tak mengabaikanku. Masalahku cuma satu, kadang aku merasa lelah.
Mengapa lelah? Bukankah di rumah telah ada pembantu, yang juga menjaga dan merawat anakku? Ya. Yang kumaksud lelah di sini adalah aku merasa di rumah tangga ini sendirian. Suamiku terlalu mandiri. Dia tak pernah merasakan kesulitan apa pun.
Jika pulang, dia akan bermain sebentar dengan anakku, berbincang atau makan malam, lalu suntuk di ruang kerja. Sampai pagi. Dan selalu aku sendirian, menonton teve, berbicara dengan pembantu. Lalu tidur. Kadang aku ingatkan dia untuk tidur, tapi dia sibuk dengan meja gambarnya.
Tanpa terasa, sudah 4 tahun begitu. Empat tahun nyaris kami tak pernah berangkat tidur bersama. Juga bangun bersama. Aku membangunkannya ketika akan berangkat, karena aku masuk pukul 7 pagi, dia bisa pukul 8. Begitu terus. Terjadwal. Kadang, malam aku dia bangunkan, karena dia ingin "bermesraan". Dan kemudian aku tertidur lagi.
Aku merasa hal itu mulanya biasa. Tapi, ketika bergaul dengan teman-teman, dan mendengar cerita mereka yang lengkap tentang suami dan keluarga, aku mulai merasa ada yang salah.
Aku jadi sadar, betapa aku bergerak sendiri, suami bertidan sendiri. Soal air, listrik, bayaran pembantu, biaya rumah tangga, suami tidak pernah tahu. Benar dia selalu memberikan uang belanja yang cukup. Maksud aku, dia tidak pernah tahu berapa jumlah kesemua itu. Dia tak pernah tahu apakah telepon telah dibayar, listrik telah jatuh tempo, pembantu dapat bonus atau tidak. Semua urusanku. Dia tidak tahu harga susu anakku, mainan-mainannya, juga harga pakaian-pakaianku. Seperti aku juga, yang ternyata tidak tahu berapa harga handphonenya, komputer di ruang kerja, juga laptopnya. Aku juga tidak tahu harga sepatunya, bagaimana kredit mobil, kredit rumah, dan lainnya. Semua diurus suami.
Aku merasa ini aneh. Merasa aneh setelah aku tahu, bahwa tidak harus begitu menjalankan rumahtangga. Harus ada satu nahkoda, agar arah tetap jelas.
Aku jadi ingat, bahwa aku tidak pernah meminta bermesraan duluan. Dan kutahu kini, itu tidak wajar. Aku selalu menunggu, kadang sembari terkantuk-kantuk, sampai dia membangunkanku, untuk bercinta. Aku tak pernah menjadi subjek dalam hubungan suami istri kami, tapi objek. Jika suami butuh aku harus siap.
Kusadari kini, aku juga tidak pernah lagi orgasme setelah melahirkan. Dan aku tahu itu juga tidak benar. Selama ini aku menerima hal itu, sebagai bagian dari fungsiku sebagai istri. Asal suami puas, meregang-regang di atas tbuhku, aku pun merasa senang dan puas. Aku lega bisa membuat dia begitu. Itulah caraku untuk terus mencintanya. Terkata, dari teman-temanku, itu salah. Aku harus juga mendapatkan hal yang sama. Suamiku juga harus memberikan hal itu, sebagai tugas cintanya.
Selama ini, dia tak pernah tahu gajiku, dan aku tak memberitahunya. Kuanggap itu tak penting. Tapi kini aku tahu, suamiku seharusnya bertanya dan menghargai gajiku. Kuingat, selama ini dia memang tak pernah memujiku. Tak pernah memujiku. Ini gila. Aku berdandan, memakai baju baru, sepatu, bahkan membelikan baju untuk anakku, iya iya, benar, dia tak pernah memuji. Hanya melihat saja.
Aku jadi sadar, bahwa suamiku sesungguhnya tidak pernah masuk dalam kehidupanku. Tidak pernah terikut, terkait, bersama. Urusanku itu urusanku sendiri. Ajaib. Ya ya, dia bahkan tak pernah tahu kalau keponakanku telah bertambah, dan kaget ketika menyadari. Dia tak protes ketika pembantu kuganti. Dia tak merasa aneh dengan perabotan rumah yang susunan berganti. Suamiku seperti tak menyadarinya. Atau dia tak menganggap penting semua perubahan-perubahan itu.
Ya, iya, kini kudasari, kedamaian kami itu bukan hal yang wajar. Sangat amat tidak wajar. Bukan kelengangan yang asyik. Kami tak pernah bertengkar bukan karena saling memahami. Justru karena kami tak pernah bersama. Kami tak bertengkar karena kepentingan kami tak pernah bergesekan. Dia dalam dunianya, aku dalam duniaku. Gila, ini sungguh gila. Ini rumah tangga semacam apa? Ini bukan cara mencinta seperti yang aku inginkan!
Aku berusaha mendekatkan dunia kami. Sia-sia. Suamiku memang tak dapat terlibat atau dilibatkan. Dia milik dunianya, aku milik duniaku. Aku ingat, tak pernah sekalipun dia bertanya SMS yang kuterima, teleponm yang kudapatkan. Kukira itu karena dia percaya. Tapi tidak, aku sadar kini, itu bukan percaya. Itu tanda dia tak peduli. Aku mendapat telepon tengah malam pun, dia tak terganggu. Ya, itu tanda bahwa dia memang tak peduli.
Ya Tuhan, sesungguhnya dari apa rumah tanggaku ini dibangun? Di atas pondasi seperti apa? Mengapa aku tak menyadarinya, dan merasa semua aman, damai, sentosa? Mengapa kini aku terbuka, dan merasa betapa hidupku ini begitu datar, lelah, dan membosankan? Mengapa aku merasa lelah untuk menjadi istrinya?
Apakah aku meminta terlalu banyak? Rasanya tidak? Aku hanya ingin kami terlibat satu-sama lain, dia ada di duniaku, aku pun ada di dunianya. Aku hanya ingin menjadkan kami sebagai tim, yang bisa saling memberi dan berbagi, bukan dengan pembagian yang semacam kami jalani ini. Apakah aku salah berharap dapat berangkat tidur bersama, dipeluk, dan bangun lalu makan bersama? Apakah itu tuntutan yang mengada-ada?
Tuhan, bantulah aku mengatasi kelelahan ini, biar aku tetap dapat menjadi istri dalam kondisi apa pun, biar aku dapat terus menyelamatkan rumah tangga ini.
sumber : suaramerdeka
Posted in: cerita cinta
Senin, 05 Juli 2010
Main di Dunia Maya, Jangan Lupa Dunia Nyata
Tak hanya orang dewasa, anak-anak pun kini akrab dengan jejaring sosial di dunia maya. Mereka asyik meluaskan pergaulan di sana hingga acap lupa dengan dunia nyata. Peran orangtualah untuk mencegah anak hanya aktif di dunia maya.
Sahla, murid kelas 4 SD di wilayah Jakarta Selatan, telah kenal internet sejak kelas 3 SD. Ibunya yang memang aktif di dunia mayalah yang memperkenalkan teknologi itu pada anak pertamanya itu. Sekarang anak usia 9 tahun itu aktif di jejaring sosial facebook dan menjalin pertemanan dengan teman-teman sebaya lainnya di dunia maya. Dengan memalsukan tahun lahirnya tentu, mengingat situs ini sesungguhnya mensyaratkan usia 17 tahun untuk mendaftar. Repotnya, kalau sudah asyik, Sahla bisa berjam-jam duduk di depan komputer dan tak sempat lagi bermain bersama teman-teman di sekitar rumahnya.
Beberapa tahun belakangan memang semakin banyak saja anak yang akrab dengan jejaring sosial di dunia maya.
Mengenalkan dan membuat aturan
Teknologi informasi dalam bentuk internet yang semakin berkembang, sudah tentu mengandung sisi negatif dan sisi positif buat orang dewasa, juga buat anak-anak. Sisi positifnya misalnya banyak informasi yang bisa mereka dapatkan di internet yang berguna bagi tugas-tugas sekolah mereka, atau mereka juga jadi terbiasa menggunakan bahasa Inggris yang memang menjadi bahasa komputer dan internet secara umum. Aktif di jejaring sosial juga membuat anak bebas berekspresi dan berbagi cerita dengan teman-temannya dari berbagai tempat di dunia. Banyak teman baru yang mereka dapatkan dengan hanya duduk di depan komputer. Wawasan mereka pun bertambah luas.
Sementara sisi negatifnya antara lain anak-anak mudah mengakses situs-situs yang tidak baik dan dapat merusak mereka, misalnya situs-situs berisi kekerasan, antisosial atau malah porno. Atau internet juga bisa menyebabkan anak hanya asyik di depan komputer dan mengabaikan aktivitas bersosial dengan teman sebaya di lingkungan sendiri.
Melindungi anak dari terpaan negatif teknologi membuat sebagian orangtua menghalangi anak mengakses internet sama sekali. Namun tindakan untuk menghalangi anak mengakses internet plus jejaring sosial yang ada saat ini, seperti friendster, facebook atau yang terbaru twitter, tidaklah bijaksana. “Kita tidak bisa menolak dari perkembangan yang ada saat ini. Harus kita akui, ada manfaat yang bisa kita ambil dari perkembangan ini. Hingga mau tak mau kita harus mempersiapkan anak menghadapi perkembangan zaman ini,” kata psikolog Evi Elviati. Yang utama dilakukan orangtua adalah menjelaskan pada anak tentang sisi positif dan sisi negatif teknologi tersebut. Dengan bekal ini anak setahap demi setahap dikenalkan pada teknologi informasi ini.
Adalah lebih bijaksana bila orangtua yang mengenalkan perkembangan terbaru ini, apalagi bila di rumah sudah tersedia fasilitas internet. Kalau pun tak diajarkan di rumah karena orangtua tak mau mengajarkannya, mereka bisa mengaksesnya di tempat lain, misalnya di warnet. Ini tentu lebih mengkhawatirkan lagi karena di luar pengawasan orangtua. “Kadang sebelum kita kasih tahu, mereka sudah lebih dulu tahu. Mungkin dari teman-temannya,” ujar Evi.
Bila memang orangtua sendiri tak memahami teknologi ini, maka tak ada ruginya bagi orangtua untuk mempelajari hal ini dari berbagai sumber yang ada. Idealnya, orangtua memahami lebih dulu teknologi ini dibanding anak-anak. Bagaimana orangtua bisa mengarahkan anak – misalnya tentang situs mana yang boleh dibuka dan situs mana yang tidak boleh dibuka atau bagaimana memblokir situs porno – bila orangtua tak dapat mengoperasikan komputer, apalagi mengakses internet? Namun, bila anak sudah tahu lebih dulu dari orangtua, jangan malu untuk minta diajari oleh anak.
Mengenai usia yang ideal, Evi memberi kisaran usia anak kelas 3 SD untuk tahap pengenalan. Sementara untuk mempraktikkan sendiri sekitar usia kelas 4 dan kelas 5 SD.
Batasan-batasan pun sudah pasti harus diberikan orangtua, papar ibu 2 anak laki-laki ini. Pertama, tentang waktu. Pada waktu apa saja anak boleh mengakses internet, misalnya saat libur atau setelah semua tugas mereka selesai. Kedua, tentang isi atau konten. Hanya konten yang baik saja yang boleh mereka akses. Sementara untuk jejaring sosial di dunia maya, hanya gambar atau cerita yang aman dan sopan saja yang bisa mereka ceritakan dan mereka bagi di sana. Jangan sampai menyakiti pihak lain, seperti kasus artis muda Marshanda yang mengolok-olok teman-temannya di internet.
Lalu yang tak boleh diabaikan orangtua adalah kontrol atau pengawasan terhadap aktivitas anak di dunia maya tersebut. “Kepentingan orangtua di situ adalah untuk melihat siapa teman-teman dia di sana dan bagaimana mereka. Bahkan memilihkan teman yang baik buat anak pun berlaku juga di dunia maya. Bagaimana anak bisa menjadi baik bila teman-temannya tidak baik,” terang Evi.
Tindakan ini, menurut lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, dimaksudkan bukan untuk mengganggu privasi anak. Karena dalam prosesnya di sana orangtua hanya memonitor saja dan memberi masukan-masukan pada anak. Tentu saja proses ini hanya bisa terjadi setelah sebelumnya memang telah tercipta keterbukaan dalam keluarga tersebut.
Ciptalkan pergaulan di dunia nyata
Dengan keasyikan meng-update status dan chatting, apalagi ditambah bermain game online di dunia maya, seringkali membuat anak lupa waktu dan tak sempat lagi bergaul dengan teman-teman di lingkungannya. Jangankan bermain, untuk belajar atau hal-hal penting lainnya pun diacuhkan. Kondisi inilah yang harus diwaspadai orangtua. “Ini jelas tidak sehat. Anak jadi kecanduan dan mengabaikan semua kegiatannya. Hal ini juga menjadikan anak-anak pribadi yang egois,” kata Evi.
Walaupun ada manfaat yang bisa didapat anak dari aktivitas di dunia maya, tetap saja pergaulan dengan teman-teman sebaya di lingkungannya tak boleh ditinggalkan. Walau sama-sama ‘bergaul’ , jelas pergaulan di dunia nyatalah yang bisa membuat keterampilan sosial anak terasah secara optimal. “Di dunia maya, anak hanya bertukar informasi secara verbal. Namun di dunia nyata, mereka bisa saling bertatap muka, saling mengeluarkan emosi dan bahasa tubuh, sehingga keterampilan sosial mereka pun terasah dengan baik,” papar psikolog kelahiran Jakarta 39 tahun silam ini.
Rasa simpati dan empati anak yang merupakan bekal bersosialisasi dalam kehidupan dewasanya kelak juga bisa tergali dalam pergaulan di dunia nyata. Sementara itu, pergaulan di dunia maya pun tak akan sedekat dan sejujur dalam dunia nyata, apalagi siapa yang berani menjamin apa-apa yang diungkapkan teman di dunia maya benar. Kebohongan dan tipuan amat mudah dilakukan di sana.
Masalahnya, banyak anak yang tenggelam dalam dunia maya lantaran dalam kesehariannya mereka tak punya teman, entah karena lingkungan yang sedikit anak-anak sebaya atau karena mereka merasa teman-teman di sekitarnya tak menyenangkan buatnya. “Maka tugas orangtua untuk menciptakan lingkungan dimana anak bisa bergaul, misalnya dengan diikutkan kursus atau di sekolah anak didorong untuk bergaul. Atau bila liburan, ajak anak ke rumah saudara-saudara kita sehingga mereka bisa bermain bersama sepupunya. Yang penting ciptakan lingkungan bermain buat anak,” terang Evi.
Mengabaikan kebutuhan anak akan lingkungan bermain yang nyata bisa berakibat buruk bagi perkembangan otak dan sosialisasi anak. Apalagi di masa kanak-kanaklah masa terbaik untuk mengembangkan berbagai kemampuan dalam dirinya, termasuk kemampuan untuk bersosialisasi.
Karena internet juga bisa diakses dari handphone yang sekarang memang menyediakan fasilitas itu, Evi mengingatkan para orangtua agar tidak memberi anak handphone berfitur banyak dengan fasilitas lengkap. Pengawasan penggunaan handphone memang relatif lebih sulit dibandingkan penggunaan personal computer (PC) dan laptop karena bentuk handphone yang kecil mudah dibawa dan disembunyikan. Berikan anak – kalau memang harus dan benar-benar perlu – handphone yang sesuai tujuannya saja, misalnya untuk kelancaran komunikasi dengan orangtua atau keluarga. “Apalah arti prestise memberikan anak handphone yang canggih, kalau ternyata lewat situ pula anak-anak bisa mengakses segala hal yang berbahaya dan merusak,” kata Evi.
Memang tidak pernah mudah menjadi orangtua, terlebih menjadi orangtua masa kini dengan berbagai terpaan dari segala penjuru yang kian dahsyat. Masa depan anak jadi taruhannya. Maka upaya membekali diri dengan berbagai pengetahuan harus terus dilakukan orangtua, salah satunya mengikuti perkembangan teknologi.
sumber : ummi-online.com
Sahla, murid kelas 4 SD di wilayah Jakarta Selatan, telah kenal internet sejak kelas 3 SD. Ibunya yang memang aktif di dunia mayalah yang memperkenalkan teknologi itu pada anak pertamanya itu. Sekarang anak usia 9 tahun itu aktif di jejaring sosial facebook dan menjalin pertemanan dengan teman-teman sebaya lainnya di dunia maya. Dengan memalsukan tahun lahirnya tentu, mengingat situs ini sesungguhnya mensyaratkan usia 17 tahun untuk mendaftar. Repotnya, kalau sudah asyik, Sahla bisa berjam-jam duduk di depan komputer dan tak sempat lagi bermain bersama teman-teman di sekitar rumahnya.
Beberapa tahun belakangan memang semakin banyak saja anak yang akrab dengan jejaring sosial di dunia maya.
Mengenalkan dan membuat aturan
Teknologi informasi dalam bentuk internet yang semakin berkembang, sudah tentu mengandung sisi negatif dan sisi positif buat orang dewasa, juga buat anak-anak. Sisi positifnya misalnya banyak informasi yang bisa mereka dapatkan di internet yang berguna bagi tugas-tugas sekolah mereka, atau mereka juga jadi terbiasa menggunakan bahasa Inggris yang memang menjadi bahasa komputer dan internet secara umum. Aktif di jejaring sosial juga membuat anak bebas berekspresi dan berbagi cerita dengan teman-temannya dari berbagai tempat di dunia. Banyak teman baru yang mereka dapatkan dengan hanya duduk di depan komputer. Wawasan mereka pun bertambah luas.
Sementara sisi negatifnya antara lain anak-anak mudah mengakses situs-situs yang tidak baik dan dapat merusak mereka, misalnya situs-situs berisi kekerasan, antisosial atau malah porno. Atau internet juga bisa menyebabkan anak hanya asyik di depan komputer dan mengabaikan aktivitas bersosial dengan teman sebaya di lingkungan sendiri.
Melindungi anak dari terpaan negatif teknologi membuat sebagian orangtua menghalangi anak mengakses internet sama sekali. Namun tindakan untuk menghalangi anak mengakses internet plus jejaring sosial yang ada saat ini, seperti friendster, facebook atau yang terbaru twitter, tidaklah bijaksana. “Kita tidak bisa menolak dari perkembangan yang ada saat ini. Harus kita akui, ada manfaat yang bisa kita ambil dari perkembangan ini. Hingga mau tak mau kita harus mempersiapkan anak menghadapi perkembangan zaman ini,” kata psikolog Evi Elviati. Yang utama dilakukan orangtua adalah menjelaskan pada anak tentang sisi positif dan sisi negatif teknologi tersebut. Dengan bekal ini anak setahap demi setahap dikenalkan pada teknologi informasi ini.
Adalah lebih bijaksana bila orangtua yang mengenalkan perkembangan terbaru ini, apalagi bila di rumah sudah tersedia fasilitas internet. Kalau pun tak diajarkan di rumah karena orangtua tak mau mengajarkannya, mereka bisa mengaksesnya di tempat lain, misalnya di warnet. Ini tentu lebih mengkhawatirkan lagi karena di luar pengawasan orangtua. “Kadang sebelum kita kasih tahu, mereka sudah lebih dulu tahu. Mungkin dari teman-temannya,” ujar Evi.
Bila memang orangtua sendiri tak memahami teknologi ini, maka tak ada ruginya bagi orangtua untuk mempelajari hal ini dari berbagai sumber yang ada. Idealnya, orangtua memahami lebih dulu teknologi ini dibanding anak-anak. Bagaimana orangtua bisa mengarahkan anak – misalnya tentang situs mana yang boleh dibuka dan situs mana yang tidak boleh dibuka atau bagaimana memblokir situs porno – bila orangtua tak dapat mengoperasikan komputer, apalagi mengakses internet? Namun, bila anak sudah tahu lebih dulu dari orangtua, jangan malu untuk minta diajari oleh anak.
Mengenai usia yang ideal, Evi memberi kisaran usia anak kelas 3 SD untuk tahap pengenalan. Sementara untuk mempraktikkan sendiri sekitar usia kelas 4 dan kelas 5 SD.
Batasan-batasan pun sudah pasti harus diberikan orangtua, papar ibu 2 anak laki-laki ini. Pertama, tentang waktu. Pada waktu apa saja anak boleh mengakses internet, misalnya saat libur atau setelah semua tugas mereka selesai. Kedua, tentang isi atau konten. Hanya konten yang baik saja yang boleh mereka akses. Sementara untuk jejaring sosial di dunia maya, hanya gambar atau cerita yang aman dan sopan saja yang bisa mereka ceritakan dan mereka bagi di sana. Jangan sampai menyakiti pihak lain, seperti kasus artis muda Marshanda yang mengolok-olok teman-temannya di internet.
Lalu yang tak boleh diabaikan orangtua adalah kontrol atau pengawasan terhadap aktivitas anak di dunia maya tersebut. “Kepentingan orangtua di situ adalah untuk melihat siapa teman-teman dia di sana dan bagaimana mereka. Bahkan memilihkan teman yang baik buat anak pun berlaku juga di dunia maya. Bagaimana anak bisa menjadi baik bila teman-temannya tidak baik,” terang Evi.
Tindakan ini, menurut lulusan Fakultas Psikologi Universitas Indonesia ini, dimaksudkan bukan untuk mengganggu privasi anak. Karena dalam prosesnya di sana orangtua hanya memonitor saja dan memberi masukan-masukan pada anak. Tentu saja proses ini hanya bisa terjadi setelah sebelumnya memang telah tercipta keterbukaan dalam keluarga tersebut.
Ciptalkan pergaulan di dunia nyata
Dengan keasyikan meng-update status dan chatting, apalagi ditambah bermain game online di dunia maya, seringkali membuat anak lupa waktu dan tak sempat lagi bergaul dengan teman-teman di lingkungannya. Jangankan bermain, untuk belajar atau hal-hal penting lainnya pun diacuhkan. Kondisi inilah yang harus diwaspadai orangtua. “Ini jelas tidak sehat. Anak jadi kecanduan dan mengabaikan semua kegiatannya. Hal ini juga menjadikan anak-anak pribadi yang egois,” kata Evi.
Walaupun ada manfaat yang bisa didapat anak dari aktivitas di dunia maya, tetap saja pergaulan dengan teman-teman sebaya di lingkungannya tak boleh ditinggalkan. Walau sama-sama ‘bergaul’ , jelas pergaulan di dunia nyatalah yang bisa membuat keterampilan sosial anak terasah secara optimal. “Di dunia maya, anak hanya bertukar informasi secara verbal. Namun di dunia nyata, mereka bisa saling bertatap muka, saling mengeluarkan emosi dan bahasa tubuh, sehingga keterampilan sosial mereka pun terasah dengan baik,” papar psikolog kelahiran Jakarta 39 tahun silam ini.
Rasa simpati dan empati anak yang merupakan bekal bersosialisasi dalam kehidupan dewasanya kelak juga bisa tergali dalam pergaulan di dunia nyata. Sementara itu, pergaulan di dunia maya pun tak akan sedekat dan sejujur dalam dunia nyata, apalagi siapa yang berani menjamin apa-apa yang diungkapkan teman di dunia maya benar. Kebohongan dan tipuan amat mudah dilakukan di sana.
Masalahnya, banyak anak yang tenggelam dalam dunia maya lantaran dalam kesehariannya mereka tak punya teman, entah karena lingkungan yang sedikit anak-anak sebaya atau karena mereka merasa teman-teman di sekitarnya tak menyenangkan buatnya. “Maka tugas orangtua untuk menciptakan lingkungan dimana anak bisa bergaul, misalnya dengan diikutkan kursus atau di sekolah anak didorong untuk bergaul. Atau bila liburan, ajak anak ke rumah saudara-saudara kita sehingga mereka bisa bermain bersama sepupunya. Yang penting ciptakan lingkungan bermain buat anak,” terang Evi.
Mengabaikan kebutuhan anak akan lingkungan bermain yang nyata bisa berakibat buruk bagi perkembangan otak dan sosialisasi anak. Apalagi di masa kanak-kanaklah masa terbaik untuk mengembangkan berbagai kemampuan dalam dirinya, termasuk kemampuan untuk bersosialisasi.
Karena internet juga bisa diakses dari handphone yang sekarang memang menyediakan fasilitas itu, Evi mengingatkan para orangtua agar tidak memberi anak handphone berfitur banyak dengan fasilitas lengkap. Pengawasan penggunaan handphone memang relatif lebih sulit dibandingkan penggunaan personal computer (PC) dan laptop karena bentuk handphone yang kecil mudah dibawa dan disembunyikan. Berikan anak – kalau memang harus dan benar-benar perlu – handphone yang sesuai tujuannya saja, misalnya untuk kelancaran komunikasi dengan orangtua atau keluarga. “Apalah arti prestise memberikan anak handphone yang canggih, kalau ternyata lewat situ pula anak-anak bisa mengakses segala hal yang berbahaya dan merusak,” kata Evi.
Memang tidak pernah mudah menjadi orangtua, terlebih menjadi orangtua masa kini dengan berbagai terpaan dari segala penjuru yang kian dahsyat. Masa depan anak jadi taruhannya. Maka upaya membekali diri dengan berbagai pengetahuan harus terus dilakukan orangtua, salah satunya mengikuti perkembangan teknologi.
sumber : ummi-online.com
Posted in: lain lain
Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Ada seorang siswa kelas satu yang menyukai siswa kelas tiga,K`Abu yang di cintai Nova tapi K`Abu gak pernah tau klo Nova mencintainya beginilah cerita selnjutnya pada suatu ketika
K`Abu dapat amanat dari orang tua kelas satu untuk jagain Dea, padahal k`Abu tahu kalau Nova suka sama k’Abu…
Waktu Dea sakit, k’Abu kayaknyamesra banget sama Dea begitu pun Dea sangat manja sekali sama k’Abu, di satu sisi Nova sangat sayang sekali pada k’Abu…
Suatu ketika Dea pulang bareng dengan k’Abu, nah kebetulan Nova melihat Dea di boncengi motyor dengan k’Abu… tapi apa k’Abu tidak menjaga persaan Nova yang sedang sakit hati ngeliat mereka berduaan….
Terpaksa niva harus curhat sama kakak kelas yang lain yaitu Dwi orang yang Nova percayai untuk menampung curhatannya…
“k’Dwi kayaknya k’Abu suka deh sama Dea….”;
“ ya sudah loe jangan ngarepin k’Abu terus, kan masih babnyak cowo lalin yang lebih baik…”
“iya… k’, gw tau tapi gimana sih namanya juga udah terlanjur sayang susah untuk di lupain…”
“iya sih,,, tapi kan dari pada loe terus-terusan di buat sakit hati sama k’Abu..”
“Duhhh k’ enggak gampang buat ngelupain gitu aja gw udah sayang banget sama k’Abu..”
Ya gw sih kasihan aja liat loe terus sakit hati karena ngeliat mereka mesra-mesraan..”
Sebenarnya Dwi kasihan dengan Nova tapi n mau giman lagi novanya pun udah terlanjur sayang sama k’Abu, ya jadi Dwi hanya bisa diam saja mau ngelarang Nova buat ngeliupapin tapi Novanya sasja enggak bisa ngwlupain k’Abu…”
Dwi juga sempat bingung melihat keadaan sekarang , tapi Dwi mau gimana lagi, itu kan udah hak k’Abu mau suka sama asiapa dann Dwi juga gak bisa maksa k’Abu untuk suka sama Nova….
Akhirnya Nova hanya bia sakit hati ketika melihat k’Abu dengan Dea, tapi mau gimana lagi namanya juga udah sayang bsnget susah deh buat di lupain … akhirnya hari itu juga Nova nanya sama k’Abu
“ka’, k’Abu, jadian ya sama Dea…”
“ enggak kok, kita Cuma adik kakak aja..”
“ Adik kakak tapi kok m,esra banget k’..”
“ah… biasa aja deh…”
“ OOOhhh…”
Nova menunggalkan k’Abu, nova kira k’Abu bakal membuka hatinya lebih besar lagi untuk Nova tapiu nyatanya “TIDAK”,, rasa akit hati terus menghantui Nova…
Ketika Nova keluar rumahh, Nova melihat k’Abu adda di rumah Rani, padahal Rani itu saudara nova dan rumahnya pun berdekatan, tapi Nova hanya bisa diam ketiika melihat k’Abu ada di rumah Rani…
Nova pun langsung masuk rumah dan menangis.. di dalam kamarnya, Nova hanya dapat menangis, menangiss, dan menangis ketika melihat k’Abu begitu dekat pul;a dengan Rani…
KEESOKAN HARINYA Nova ketika di sekolah curhat kembali dengan k’Dwi…
“k’, kemarin gw lihat k’Abu ada di rumah rani..”
“emangnya ngepain k’Abu di rumsh Rani..?”
“ gw juga gak tau k, pas gw liat k’Abu di rumah Rani gw nangis di kamar gw k’…’
“ Nova… Nova,,,, mwndingan loe lupain k’Abu aja dari pada loe harus terus-terusan sakit hati kaya gini…
“enggak bisa k’, gw masih sayang banget sama k’Abu..”
“dia tuh gak mikirin perasaan loe kaya gimana padahal kan dia tahu kalau loe suka sama k’abu…
“setelsh k’Dwi bicara seperti itu nova hanya bisa diam… dan Nova pun gak tahu kenapa bisa sayang banget sama k;’Abu pdahal udah sering di bikin sakit hati dan kecew sama k’Abu..”
Dan Nova puin sms k’Abu…
“Ass,,, k’ makasih ya udah ngasih nova luang buat suka sama kakak walau Cuma sedikit..”
“Wal,,, maksudnya nova apa nihhh!!!”
“ iya makasih kakak udah bolehin nova buat suka sama k’Abu..”
“ kenapa harus bilang makasih..”
“ enggak kenapa-napa, Nova tahu k’Abu lebih milih Dea dan Rani dari pada Nova..”
“ enggak gitu juga kok..”
“ya sudah k’ nova Cuma bisa bilang cukup tahu aja sama k’Abu yang gak pernah mikirin perasaan orang kaya gimana….”
Berhentilah Nova smsan sama k’Abu…. Nova pun terus berharap walau pun ia sering di buat kecewa pada k’Abu… walau sampai saat ini k’Abu tidak pernah sadar kalau Nova sayang banget sama k’Abu….
Sampai saat ini cinta nova masih saja bertepuk sebelah tangan,,,, sampai kapan Nova menemukan cinta sejatinya yang tulus mencintainya dari hati….
K`Abu dapat amanat dari orang tua kelas satu untuk jagain Dea, padahal k`Abu tahu kalau Nova suka sama k’Abu…
Waktu Dea sakit, k’Abu kayaknyamesra banget sama Dea begitu pun Dea sangat manja sekali sama k’Abu, di satu sisi Nova sangat sayang sekali pada k’Abu…
Suatu ketika Dea pulang bareng dengan k’Abu, nah kebetulan Nova melihat Dea di boncengi motyor dengan k’Abu… tapi apa k’Abu tidak menjaga persaan Nova yang sedang sakit hati ngeliat mereka berduaan….
Terpaksa niva harus curhat sama kakak kelas yang lain yaitu Dwi orang yang Nova percayai untuk menampung curhatannya…
“k’Dwi kayaknya k’Abu suka deh sama Dea….”;
“ ya sudah loe jangan ngarepin k’Abu terus, kan masih babnyak cowo lalin yang lebih baik…”
“iya… k’, gw tau tapi gimana sih namanya juga udah terlanjur sayang susah untuk di lupain…”
“iya sih,,, tapi kan dari pada loe terus-terusan di buat sakit hati sama k’Abu..”
“Duhhh k’ enggak gampang buat ngelupain gitu aja gw udah sayang banget sama k’Abu..”
Ya gw sih kasihan aja liat loe terus sakit hati karena ngeliat mereka mesra-mesraan..”
Sebenarnya Dwi kasihan dengan Nova tapi n mau giman lagi novanya pun udah terlanjur sayang sama k’Abu, ya jadi Dwi hanya bisa diam saja mau ngelarang Nova buat ngeliupapin tapi Novanya sasja enggak bisa ngwlupain k’Abu…”
Dwi juga sempat bingung melihat keadaan sekarang , tapi Dwi mau gimana lagi, itu kan udah hak k’Abu mau suka sama asiapa dann Dwi juga gak bisa maksa k’Abu untuk suka sama Nova….
Akhirnya Nova hanya bia sakit hati ketika melihat k’Abu dengan Dea, tapi mau gimana lagi namanya juga udah sayang bsnget susah deh buat di lupain … akhirnya hari itu juga Nova nanya sama k’Abu
“ka’, k’Abu, jadian ya sama Dea…”
“ enggak kok, kita Cuma adik kakak aja..”
“ Adik kakak tapi kok m,esra banget k’..”
“ah… biasa aja deh…”
“ OOOhhh…”
Nova menunggalkan k’Abu, nova kira k’Abu bakal membuka hatinya lebih besar lagi untuk Nova tapiu nyatanya “TIDAK”,, rasa akit hati terus menghantui Nova…
Ketika Nova keluar rumahh, Nova melihat k’Abu adda di rumah Rani, padahal Rani itu saudara nova dan rumahnya pun berdekatan, tapi Nova hanya bisa diam ketiika melihat k’Abu ada di rumah Rani…
Nova pun langsung masuk rumah dan menangis.. di dalam kamarnya, Nova hanya dapat menangis, menangiss, dan menangis ketika melihat k’Abu begitu dekat pul;a dengan Rani…
KEESOKAN HARINYA Nova ketika di sekolah curhat kembali dengan k’Dwi…
“k’, kemarin gw lihat k’Abu ada di rumah rani..”
“emangnya ngepain k’Abu di rumsh Rani..?”
“ gw juga gak tau k, pas gw liat k’Abu di rumah Rani gw nangis di kamar gw k’…’
“ Nova… Nova,,,, mwndingan loe lupain k’Abu aja dari pada loe harus terus-terusan sakit hati kaya gini…
“enggak bisa k’, gw masih sayang banget sama k’Abu..”
“dia tuh gak mikirin perasaan loe kaya gimana padahal kan dia tahu kalau loe suka sama k’abu…
“setelsh k’Dwi bicara seperti itu nova hanya bisa diam… dan Nova pun gak tahu kenapa bisa sayang banget sama k;’Abu pdahal udah sering di bikin sakit hati dan kecew sama k’Abu..”
Dan Nova puin sms k’Abu…
“Ass,,, k’ makasih ya udah ngasih nova luang buat suka sama kakak walau Cuma sedikit..”
“Wal,,, maksudnya nova apa nihhh!!!”
“ iya makasih kakak udah bolehin nova buat suka sama k’Abu..”
“ kenapa harus bilang makasih..”
“ enggak kenapa-napa, Nova tahu k’Abu lebih milih Dea dan Rani dari pada Nova..”
“ enggak gitu juga kok..”
“ya sudah k’ nova Cuma bisa bilang cukup tahu aja sama k’Abu yang gak pernah mikirin perasaan orang kaya gimana….”
Berhentilah Nova smsan sama k’Abu…. Nova pun terus berharap walau pun ia sering di buat kecewa pada k’Abu… walau sampai saat ini k’Abu tidak pernah sadar kalau Nova sayang banget sama k’Abu….
Sampai saat ini cinta nova masih saja bertepuk sebelah tangan,,,, sampai kapan Nova menemukan cinta sejatinya yang tulus mencintainya dari hati….
Posted in: cerita cinta
Cinta sepotong Mimpi
Dapatkah seseorang mencinta hanya karena sepotong mimpi? Mustahil. Namun, adikku semata wayang mengalaminya – setidaknya itu yang diakuinya.
Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.
Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.
“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.
Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.
Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).
Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.
“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.
”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.
”Barangkali saja itu pertanda.”
”Bahwa Lala jodoh saya?”
”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”
Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.
Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.
”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.
”Ah, adikmu itu takkan mau.”
”Tapi…”
”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”
“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”
Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.
”Kupercayakan semua itu padamu.”
Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.
***
Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.
“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.
”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”
Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.
“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.
***
Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.
”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.
Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.
”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.
”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”
Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.
Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.
Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.
“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang lamar?”
Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim dulu.
“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”
Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.
Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.
Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.
Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.
”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.
Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.
Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.
***
Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.
”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”
Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.
”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!
”Rasanya Azisa bukan jodohku.”
Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.
”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata Lala!”
Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.
”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”
”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”
Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.
”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”
Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis sesal.
Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.
“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”
Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.
“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”
Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang mempercayai?
Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku......
sumber : Majalah Ummi, No. 12/XVI April 2005/1426 H - ceritacinta.net
Gadis yang dicintainya adalah Lala, adik sepupunya sendiri. Wajar, bukan? Bahkan, menjadi halal saat kedua orang tuaku kemudian berpikir untuk meminangnya.
Semua berawal dari penuturan Jamal. Ia bilang, ia memimpikan Lala sebagai gadis yang diperkenalkan Ibu kepadanya sebagai calon istrinya.
“Kami sudah saling mengenal, Bu,” kata Jamal dalam mimpi itu dengan malu-malu. Gadis itu pun mengangguk dengan senyum malu-malu pula.
Sebenarnya Jamal tidak terlalu meyakini gadis itu adalah Lala. Wajahnya samar terlihat. Namun, Jamal merasakan aura gadis itu cukuplah ia kenal. Hebatnya, ini diperkuat oleh ayah kami. Di malam yang sama, beliau bermimpi tentang Jamal yang duduk di kursi pelaminan bersama Lala! Apakah ini pertanda? Entah. Hanya saja, sejak itu aku merasakan pandangan Jamal terhadap Lala berubah.
Mereka sebenarnya teman bermain di waktu kecil, namun tak pernah bertemu lagi sejak remaja. Keluarga Lala tinggal jauh di Surabaya, sementara kami di Jakarta. Kami jarang berkumpul, bahkan saat lebaran, sehingga kenangan yang dimiliki Jamal tentang Lala adalah kenangan di masa kecil dulu sebagai abang yang kasih kepada adiknya. Kasih dimana sama sekali tak terpikirkan untuk memandang Lala sebagai gadis yang pantas dicintai, bahkan halal dinikahi. Namun, mimpi itu mampu menyulap semuanya menjadi…cinta (?).
Mari katakan aku terlalu cepat menyimpulkan sebagai cinta. Barangkali saja itu hanya pelangi yang tak kunjung sirna mengusik relung hati adikku. Pelangi yang mampu merubahnya menjadi sok melankolis hingga membuat kami sekeluarga khawatir melihat ia kerap termenung menatap kejauhan, untuk kemudian mendesah perlahan.
“Mungkin kau harus menemuinya di Surabaya,” kata Ibu.
”Rasanya tak usah, Bu. Masak hanya karena bunga tidur aku menemuinya,” jawab Jamal.
”Barangkali saja itu pertanda.”
”Bahwa Lala jodoh saya?”
”Bukan. Bahwa sudah lama kau tak mengunjungi mereka untuk bersilaturahmi. Biar nanti Mbakmu dan suaminya yang menemanimu kesana.”
Jamal tertegun sejenak untuk kemudian mengangguk.
Wah, pintar sekali Ibu membujuk. Padahal tanpa sepengetahuan adikku yang pendiam itu, Ibu menyerahi kami tugas untuk ”meminang” Lala. Ibu betul-betul yakin mimpi itu sebagai pertanda sehingga memintaku menanyakan kepada Lala tentang kemungkinan kesediaannya dipersunting Jamal.
”Kenapa tidak minta langsung saja pada Paklik? Biar mereka dijodohkan saja,” kataku waktu itu.
”Ah, adikmu itu takkan mau.”
”Tapi…”
”Sudahlah. Ibu tahu Jamal belum terlalu dewasa. Kuliah saja belum selesai. Tapi setidaknya ia memiliki penghasilan dari usaha sambilannya berdagang, ‘kan?”
“Bukan itu maksudku. Apa Ibu yakin Jamal mau dengan Lala? Barangkali saja mimpinya hanya romantisme sesaat.”
Ibu tercenung. Aku yakin Ibu belum memastikan ini. Yang beliau tahu hanya Jamal yang bertingkah aneh. Itu saja. Selebihnya ia perkirakan sendiri. Sepertinya justru Ibulah yang ngebet ingin meminang Lala.
”Kupercayakan semua itu padamu.”
Walah! Berarti tugasku berlipat-lipat! Selain memastikan kesediaan Lala, aku pun harus memastikan perasaan adikku sendiri.
***
Ia diam. Sudah kuduga reaksinya begitu jika kutanyakan tentang kemungkinan perjodohannya dengan Lala.
“Kamu mencintainya?” Aku mengganti pertanyaan. Kali ini Jamal malah terkekeh.
”Mungkin… Entahlah. Rasanya tak wajar.”
Tentu saja tak wajar! Bagiku, mencinta karena sepotong mimpi hanya omong kosong. Lagi pula Jamal tak tahu seperti apa wajah dan kepribadian Lala dewasa ini. Aku pun tak tahu.
“Santai saja, Mal. Tak usah dipikirkan. Yang penting kita tiba dulu di sana,” kata Bang Rohim, suamiku.
***
Setiba di Surabaya, kami disambut keluarga Lala hangat.
”Wah, iki Jamal tho? Oala, wis gedhe yo?!” ucap Bulik.
Jamal hanya tersenyum. Apalagi saat pipi gendutnya dijawil Bulik seperti saat ia kanak-kanak dulu.
”Mana Lala, Bulik?” tanyaku saat tak mendapati anak semata wayangnya itu.
”Ada di dapur. Sedang bikin wedhang.”
Aku segera ke dapur. Aku sungguh penasaran seperti apa Lala sekarang. Kulihat seorang gadis di sana. Subhanalah, cantiknya! Ia mencium tanganku. Hmm, santun pula. Cukup pantas untuk Jamal. Tapi, aku harus menahan diri. Kata Bang Rohim, butuh pendekatan persuasif untuk menjalankan misi ini. Aku tak yakin aku bisa sehingga menyerahkan sepenuhnya skenario kepadanya.
Tak banyak yang dilakukan Bang Rohim selain meminta Lala menjadi guide setiap kami bertiga pergi ke pusat kota. Ia melarangku membicarakan soal perjodohan, pernikahan, pinangan atau apapun istilahnya kepada Lala. Katanya, kendati kami keluarga dekat, sudah lama kami tidak saling bersua. Bisa saja Lala memandang kami sebagai ”orang asing”. Upaya melancong bersama ini demi untuk mengakrabkan kembali Jamal, Lala dan aku. Kiranya ini dapat memudahkanku saat mengutarakan maksud kedatangan kami sesungguhnya nanti.
Malam ini saat dimana aku diperbolehkan suamiku mengungkapkan semuanya kepada Lala. Seharusnya memang begitu. Tapi Jamal mendahuluiku. Tak kusangka ia serius dengan perasaannya. Ia utarakan semuanya. Tentang mimpinya, tentang jatuh cinta, bahkan tentang pinangan.
“Mungkin Dik Lala menganggap ini konyol. Abang juga merasa begitu. Tapi, setidaknya sekarang Abang yakin dengan perasaan Abang. Jadi, mau tidak kalau Lala Abang lamar?”
Bukan manusia kalau Lala tidak kaget ditembak seperti itu. Ia tampak galau. Seperti aku dulu. Sayang Lala tak merespon seperti aku merespon pinangan Bang Rohim dulu.
“Maaf, Mas. Aku terlanjur menganggapmu sebagai kakak. Rasanya sulit untuk merubahnya.”
Berakhirlah. Sampai di sini saja perjuangan kami di Surabaya. Jamal tersenyum mengerti, namun kuyakini hatinya kecewa. Cintanya yang magis tak berakhir manis. Kami pulang ke Jakarta dengan penolakan.
Sejak hari itu, Jamal tak terlihat lagi melankolis. Ia kembali sibuk dalam aktivitasnya. Adikku itu benar-benar hebat. Kendati patah hati, ia tak mau larut dalam perasaannya. Bahkan, belakangan aku tahu ia belum menyerah. Setidaknya penolakan itu berhasil mengakrabkan kembali Jamal dengan Lala. Mereka berdua kerap berkirim SMS sekedar menanyakan kabar ataupun saling bercerita. Jamal betul-betul memandang ini sebagai peluang untuk mengubah pandangan Lala terhadapnya.
Waktu kian berganti hingga masa dimana Jamal mengutarakan lagi keinginannya itu. Sayang ditolak lagi. Begitu berulang hingga tiga kali.
Ayah dan Ibu prihatin melihatnya. Mereka tak bisa berbuat banyak. Keinginan mereka untuk menjodohkan saja keduanya Jamal tolak.
”Syarat orang yang menjadi calon istriku, haruslah tulus ikhlas menjadi pendampingku. Atas kemauannya sendiri, bukan pihak lain!” Begitu alasannya selalu.
Terserahlah apa katanya. Tapi ini sudah menginjak tahun kelima Jamal memelihara cinta tak kesampaian ini. Usianya kian mendekati kepala tiga. Cukup mengherankan ia tetap memeliharanya terus. Rasanya tak layak cinta itu dipelihara terus. Ia harus diberangus. Lala bukanlah gadis terakhir yang hidup di dunia. Untuk itu Ibu, Ayah dan aku kongkalikong untuk membunuh cinta Jamal. Sudah saatnya ia mempertimbangkan gadis-gadis lain. Kebetulan ada yang mau. Pak Haji Abdullah sejak lama ingin bermenantukan Jamal dan menyandingkannya dengan Azisa, anak sulungnya. Kami susun perjodohan tanpa sepengetahuan Jamal. Lantas, kami sekeluarga berusaha ”menghasut” Jamal untuk memperhitungkan keberadaan Azisa, temannya sejak SMU itu.
Alhamdulillah berhasil. Hati Jamal mulai terbuka untuk Azisa sehingga saat Pak Haji Abdullah meminta dirinya menjadi menantu, ia tak punya lagi pilihan selain mengiyakan.
***
Kesediaan Jamal memang sudah didapat, namun anehnya ia tak kunjung juga menentukan tanggal pernikahan. Kali ini naluriku sebagai kakak turut bermain. Rasanya Jamal tengah menghadapi masalah yang tak dapat dibaginya kepada siapapun, termasuk Azisa. Saatnya aku menjadi kakak yang baik untuknya.
”Entahlah, Mbak. Rasanya aku tak siap untuk menikah.”
Mataku terbelalak saat Jamal mengutarakan penyebabnya.
”Apa pasal?” tanyaku agak jeri. Aku tak berani membayangkan jika Jamal tiba-tiba membatalkan perjodohan. Keluarga kami bisa menanggung malu!
”Rasanya Azisa bukan jodohku.”
Aku semakin terkesiap. Aku mulai menduga-duga arah pembicaraannya.
”Lala-kah?” tanyaku. Jamal mengangguk pelan, namun pasti.
”Sebenarnya mimpi tempo hari itu tak sekonyong datang. Aku memintanya kepada Tuhan. Aku meminta Dia memberikan petunjuk tentang jodohku kelak. Dan yang muncul ternyata Lala!”
Aku kembali terdiam. Aku benar-benar payah. Sudah setua ini, masih saja tak dapat menjadi kakak yang baik buat Jamal. Aku bingung harus menanggapi bagaimana.
”Maafkan jika selama ini Mbak tak bisa menjadi kakak yang baik, Mal. Bahkan untuk masalahmu satu ini pun Mbak tak bisa menjawab. Hanya saja, kita tak akan pernah benar-benar tahu apa yang kita yakini benar itu sebagai kebenaran, Mal. Termasuk mimpimu. Mbak tidak tahu lagi harus menganggapnya omong kosong ataukah benar-benar pertanda. Kalaulah mimpi itu pertanda, pasti banyak sekali maknanya.”
”Kamu memaknainya sebagai cinta dan jodoh, Ibu memaknainya sebagai silaturahmi dan Ayah memaknainya sebagai tipikal istri ideal bagimu. Bukankah Azisa pun tak berbeda jauh dengan Lala? Mimpi itu nisbi, Mal.”
Jamal hanya mendesah pelan sambil memandang kejauhan. Mukanya masam. Mungkin tak menghendaki aku bersikap tak mendukungnya.
”Mungkin,” lanjutku, ”ini hanya masalah cinta saja. Mungkin hatimu masih hidup dalam bayangan Lala dan tak pernah sekali pun memberi kesempatan untuk dimasuki Azisa. Kau hidup di kehidupan nyata, Mal. Sampai kapan akan menjadi pemimpi?!”
Aku tersentak oleh ucapanku sendiri. Tak kuduga akan mengucapkan ini. Bukan apa-apa. Beberapa waktu lalu kami mendengar kabar Lala menerima pinangan seseorang. Kendati menyerah, aku yakin Jamal masih memiliki cinta untuk Lala. Ia pasti sakit. Aku betul-betul kakak yang tak peka. Aku menyesal. Aku peluk Jamal, menangis sesal.
Jamal turut menangis. Isaknya berenergi kekesalan, kekecewaan, kesepian, keputus-asa-an, bahkan kesepian. Aku terenyuh. Betapa ia menderita selama ini.
“Besok kita batalkan saja perjodohan dengan Azisa, Mal. Itu lebih baik ketimbang kau tak ikhlas menjalaninya nanti. Itu katamu tentang pernikahan, ‘kan? Kita bicarakan dulu dengan Ayah dan Ibu.”
Kupikir ini yang terbaik. Tak bijak rasanya tetap berkeras melangsungkan perjodohan di saat Jamal rapuh begini. Di saat Jamal terluka dan bimbang pada perasaannya. Biarlah keluarga kami menanggung malu bersama.
“Tidak. Kita teruskan saja. Aku ikhlas menjalani sisa hidupku bersama Azisa. Mungkin aku hanya membutuhkan sedikit menangis saja. Aku pergi dulu ke rumah Pak Haji untuk membicarakan ini. Assalamu’alaikum.”
Kutatap kepergian Jamal dengan perasaan tak tentu. Kalau diingat semua ini terjadi karena mimpi. Ya, Allah apakah benar mimpi itu pertanda-Mu? Jikalau benar kenapa sulit sekali terrealisasi? Jika pun tidak benar kenapa banyak orang mempercayai?
Aku terpekur. Maafkan aku adikku. Aku hanyalah insan, yang tak mampu menerjemahkan segala misteri-Nya, bahkan yang tersurat sekalipun. Aku hanya berusaha. Dia tetap yang menentukan. Maafkan aku......
sumber : Majalah Ummi, No. 12/XVI April 2005/1426 H - ceritacinta.net
Posted in: cerita cinta
Mencintaimu
Jam 02.03 aku menulis puisi ini
waktu sudah menunjukan pagi
aku selalu bertanya pada disi sendiri
kenapa akau harus memikirkan
seseorang yang telah pergi
apakah dia kan kembali
ataukah sudah punya pilihan hati
itu yang selalu aku pikirkan
disini aku memikirkanmu
ditemani sepi, sunyi sendiri
suara angin cahaya bintang,bulan
yang menjadi teman
kekasih yang telah pergi
mungkinkah engkau kan kembali
apa gunanya aku memikirkanmu
tapi engkau mengacuhkanku
kekasih kembalilah
jujur aku masih mencintaimu
setiap hari aku menunggumu
setiap waktu aku memikirkanmu
hanya rasa sakit yang ku alami
bagaimana aku harus mengobati
andaikan dulu aku tak mengenalmu
pasti aku tak pernah mencintaimu
karena takdir tuhan kita dipertemukan
tapi kenapa di pisahkan.
Posted in: puisi